Cara Mengembangkan Sikap dan Keterampilan Pada Siswa Sekolah Dasar


Salah satu cara mengembangkan sikap dan keterampilan pada siswa sekolah dasar adalah dengan menciptakan suasana kelas dan sekolah yang mendukung secara optimal. Kelas merupakan pola-pola hubungan yang dikembangkan dalam proses interaksi atau aktivitas kelas yang menyangkut suasana sosioemosional yang berkembang dan dialami oleh anggota kelas, khususnya para siswa disaat mengikuti kegiatan pembelajaran. Pola hubungan yang diciptakan guru di kelas akan sangat menentukan suasana interaksi yang dialami oleh siswa.
Menurut temuan Wardani (1994) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa di beberapa provinsi di Indonesia, kondisi aktivitas pembelajaran di sekolah dasar bervariasi antara di tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Namun, umumnya kondisi kegiatan pembelajaran di kelas itu dapat dideskripsikan sebagai berikut, (a) guru aktif memberikan ceramah, sementara siswa hanya memperhatikan dan membuat catatan tentang apa yang guru tulis di papan tulis, (b) guru sering meminta siswa untuk membaca secara bergiliran, (c) guru kurang memberi masukan atau balikan (fedback) terhadap siswa atau tugas-tugas yang dikerjakan anak, (d) guru kurang memfasilitasi belajar yang ada di ruang kelas, (e) guru kurang memberi pekerjaan rumah pada siswa, dan (f) guru belum menggunakan waktu belajar secara maksimal, (g) guru masih menggunakan model pembelajaran yang konvensional dan bersifat monoton. Oleh karena itu, cara pembelajaran guru yang demikian tersebut di atas menyebabkan kurangnya kepedulian terhadap aspek sikap dan keterampilan pada siswa.
Jika diperhatikan kualitas pada pembelajaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pada intinya pembelajaran tersebut lebih terpusat kepada guru saja. Artinya bahwa, guru berperan sangat dominan dalam merancang, mengatur, dan mengisi aktivitas di dalam kelas dalam suasana yang kurang nyaman dan kurang menyenangkan bagi siswa. Sedangkan siswa cenderung mengikuti apa yang dikehendaki atau ditugaskan oleh guru. Maka dari itu, model pembelajaran tersebut dapat dikatakan lebih bersifat satu arah dan verbalistik, sehingga unsur interaksi siswa dengan siswa kurang mendapat kesempatan. strategi yang tepat guna yang membawa siswa ke arah situasi pembelajaran yang diharapkan, sesuai dengan tujuan pendidikan masih jauh dari kata sempurna.
Maka dari itu, pola kegiatan pembelajaran di atas diprediksikan akan sangat membosankan dan menyiksa siswa, karena kegiatan siswa lebih terbatas kepada memperhatikan dan mencatat pembicaraan dan tulisan guru. Kebanyakan siswa akan merasa sangat tersiksa, sehingga siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran secara asal-asalan. Pengalaman yang akan diperoleh siswa pada akhirnya akan mengakibatkan kegiatan belajar itu hanya bersifat superfisial pada siswa. Selain itu juga, cara pembelajaran yang monoton dan bersifat verbalistik tersebut akan mengakibatkan proses pembelajaran hanya berkenan dengan pengayaan pengetahuan namun kurang bermakna bagi siswa, sehingga hasil atau tujuan pembelajaran yang ingin diharapkan akan sangat mudah untuk dilupakan oleh siswa.
Kurangnya siswa untuk diberikan kesempatan untuk memecahkan masalah, berdiskusi secara berkelompok, dan berinteraksi dengan teman dalam setiap kegiatan pembelajaran, menyebabkan banyak aspek-aspek pribadi siswa lainnya yang kurang berkembang seperti, perkembangan kreativitas, sosiobilitas, emosi, dan sebagainya. Hal tersebut tidak sesuai dengan karakteristik pada siswa sekolah dasar yang sangat memerlukan pengembangan fungsi-fungsi fisik, kognisi, dan sosioemosional. pola interaksi seperti yang telah dilukiskan di atas kurang mendukung terhadap perkembangan belajar pada siswa sekolah dasar. Akibatnya, bukan saja kurang mengembangkan aspek-aspek perkembangan siswa secara menyeluruh, tetapi hal itu dapat menimbulkan dampak-dampak emosional yang negatif pada siswa. Kondisi inilah yang akhirnya diperlukan perubahan orientasi pembelajaran yang tadinya berpusat kepada guru menjadi berpusat kepada siswa. Hal itu senada dengan pendapatnya Coban (1983) yang mengemukakan pendekatan yang berpusat kepada siswa memiliki karakteristik sebagaimana berikut, (1) siswa memiliki kesempatan berbicara dalam kegiatan kelas sekurang-kurangnya sama dengan guru, (2) siswa sekurang-kurangnya mengajukan pertanyaan sebanyak yang diajukan guru, (3) kebanyakan pembelajaran terjadi secara individual atau dalam kelompok kecil daripada dalam keseluruhan kelas, (4) siswa membantu memilih dan mengorganisasikan materi pelajaran yang dipelajari, (5) guru mengijinkan siswa untuk menentukan sebagian atau seluruhnya, aturan-aturan berperilaku dan hukumannya di dalam kelas, (6) bahan-bahan pelajaran yang bervariasi disediakan di kelas sehingga siswa dapat menggunakan secara mandiri atau dalam kelompok kecil, (7) penggunaan bahan pelajaran tersebut dapat dilakukan secara terjadwal maupun ditentukan oleh siswa sekurang-kurangnya setengah dari waktu kegiatan akademik, (8) kelas diharapkan ditata dalam suatu cara yang memungkinkan siswa untuk bekerja sama atau dapat ditata mudah sesuai dengan keperluan.
Dari ilustrasi di atas, guru tentunya dapat menggunakan pendekatan dan metode yang tepat serta model yang tepat. Misalnya dengan menggunakan model pembelajaran bermain peran, model pembelajaran STAD, model analisis konsep, model berpikir kreatif, model kelompok inkuiri dan masih banyak model-model yang lainnya yang dapat dikembangkan oleh guru.
Dalam hal pengembangan suasana kelas yang kondusif dan menyenangkan siswa, DeVries & Zan (1994) menawarkan suatu konsep suasana sosiomoral menurut pandangan kaum konstruktivis. Suasana sosiomoral kontruktivis ini dimulai dengan sikap penghargaan guru terhadap siswa yang diekspresikan dalam organisasi kelas, dalam kegiatan-kegiatan, dan dalam interaksi guru dengan siswa. Berikut suasana kelas yang dimaksud itu, A constructivist sociomoral of respect for children’s interests, feelings, values, and ideas. The classroom is organized to meet children’s physical, emotional, and intellectual needs. It is organized for peer interaction and child responsibility. Activities appeal to children’s interests, experimentation, and cooperation. The teacher’s role is to cooperate with children by trying to understand their reasoning and facilitating the constructive process. The teacher’s role is also to foster cooperation among children by promoting their construction of emotional balance and coping abilities, interpersonal understanding, and moral values.
Bila sekolah dipandang sebagai suatu sistem, apa yang telah berlangsung di sekolah secara keseluruhan akan berkontribusi terhadap apa yang terjadi di kelas. Hal itu sependapat dengan DeVries & Zan (1994) yang menyatakan bahwa suasana sekolah dapat mendukung atau menghambat perkembangan suasana sosiomoral kelas. Karena itu, untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif yang dapat mengembangkan aspek sikap dan keterampilan pada siswa, dengan sendirinya diperlukan upaya untuk menciptakan suasana sekolah yang lebih besar. Dengan artian, karakteristik utama dari suasana sosiomoral di sekolah adalah dengan menanamkan demokratis dan keterlibatan semua warga sekolah. Bila hal itu dapat dilakukan di tiap-tiap satuan sekolah dasar, maka secara nasional tujuan pendidikan akan dapat terlaksana sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah.